WELCOME TO MY BLOG

27 Agustus 2009

Eksistensi Pidana Mati dan Nilai-nilai Pancasila

Eksekusi mati terhadap para teroris beberapa tahun yang lalu, meneguhkan kembali bahwa Indonesia adalah negara yang bersifat retensionis (mempertahankan) pidana mati baik secara de jure maupun de facto. Seiring dengan eksekusi tersebut, telah menimbulkan pro kontra di masyarakat. Keadaan ini akan menjadi sangat relevan untuk dikaji manakala kita hubungkan dengan keberadaan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Pandangan terhadap pidana mati di Indonesia secara kasar dapat dibagi dalam dua kelompok pandangan, yaitu pandangan yang pro (setuju) dan kontra (tidak setuju) terhadap pelaksanaan pidana mati, keduanya mempunyai pijakan argumentasi yang sama yaitu bersumber pada Pancasila.


Eksistensi pidana mati sebagai sanksi pidana di dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ditinjau dari sejarah hukum merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif dan bersifat politis, yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Kolonial Belanda terhadap negara jajahannya. Sebab sejak tahun 1870 didalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda (KUHP Belanda), sanksi pidana mati sudah dihapuskan. Akan tetapi hal serupa tidak dilakukan terhadap Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI) / KUHP yang diberlakukan untuk Indonesia.


Pemberlakuan pidana mati secara umum terkait dengan salah satu permasalahan pokoknya, yaitu Landasan Filosofis.

Pada abad ke-18 Cesare Beccaria sudah mengadakan penolakan terhadap pidana mati, selain Beccaria masih banyak sarjana lain yang menolak pidana mati, seperti Ferri, Von Hentig, Van Bemmelen, Ernest Bowen Rowlands, dan lain-lain. Dalam hal ini yang ingin dicari adalah landasan filosofis berlakunya pidana mati tersebut dalam perspektif nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai Rechtsbeginsel (asas hukum) adalah merupakan sumber hukum tertinggi (sumber dari segala sumber hukum) bagi tertib hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa masalah hukum di Indonesia harus diselesaikan dan bersumber dari nilai-nilai Pancasila, tak terkecuali aturan hukum tentang sanksi pidana mati.


Pidana Mati dan Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

Untuk menemukan landasan filosofis keberlakuan pidana mati dalam konteks nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, terlebih dahulu hendaknya dipahami pengertian tentang Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam uraian yang diberikan oleh Mohammad Hatta tersimpul pengertian bahwa ”Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai cita-cita hukum Indonesia”, dengan demikian dalam setiap pengaturan hukum di Indonesia, tidak terkecuali masalah pidana mati juga harus bersumber pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam ajaran Islam dikenal adanya qishash, dimana menurut hukum Islam pidana mati adalah suatu keharusan bagi mereka yang telah menghilangkan nyawa orang lain. Hukum qishash secara tegas terlihat dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 178 : yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu menuntut balas (kisas) sebab membunuh orang, merdeka dengan merdeka, sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan...”

Hukuman mati juga dibenarkan oleh ajaran agama Kristen. Para ulama Kristen setuju penerapan pidana mati karena merujuk pada pandangan Paulus, bahwa negara adalah wakil Tuhan dalam menjalankan kekuasaan duniawi, diberikan pedang yang dipergunakan untuk menjamin kelangsungan hidup negara.


Pidana Mati dan Nilai Kemanusiaan

Menurut pandangan Drijarkoro, perikemanusiaan dibagi dalam dua perumusan yaitu :

1. Rumusan Negatif, yaitu apa yang tidak diinginkan untuk dirimu sendiri, jangan itu kau lakukan terhadap sesamamu manusia.

2. Rumusan Positif, yaitu cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri, perlakukanlah kepadanya apa yang kau inginkan untuk diri sendiri.

Secara lebih tajam Rachmad Djatmiko berpendapat, pidana mati tidak bertentangan dengan perikemanusiaan, karena dasar keadilan pidana mati adalah perikemanusiaan yang menjaga pertumpahan darah secara sewenang-wenang. Mencermati pandangan tersebut, pidana mati merupakan alat yang radikal untuk mencegah tindakan-tindakan di luar batas perikemanusiaan demi tercapainya masyarakat adil makmur.


Pidana Mati dan Nilai Kebangsaan

Untuk mencari adanya titik singgung atau hubungan antara pidana mati dengan nilai-nilai kebangsaan, terlebih dahulu tentunya harus kita kemukakan arti atau makna dari kebangsaan (persatuan Indonesia) itu.

Mohammad Hatta terhadap pengertian persatuan kebangsaan Indonesia berpendapat bahwa Tanah Air Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi. Persatuan Indonesia mencerminkan susunan negara nasional yang bercorak Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam berbagai suku bangsa yang batasnya ditentukan dalam Proklamasi Indonesia. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa kesatuan dan kebangsaan dalam konteks kesatuan wilayah, kesatuan dalam kebhinekaan dan kesatuan kehidupan bermasyarakat adalah merupakan hal yang mutlak harus ada dan harus dipertahankan dalam bernegara.

Jika kita hubungkan antara nilai kebangsaan tersebut dengan eksistensi pidana mati, dapat ditarik satu pemikiran bahwa pidana mati adalah merupakan sarana atau alat untuk mencegah segala tindakan yang berupaya untuk memecah kesatuan kebangsaan.


Pidana Mati dan Nilai Kerakyatan

Untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan apakah pidana mati bertentangan atau tidak dengan nilai kerakyatan (demokrasi), tentunya terlebih dahulu harus dipahami apa arti kerakyatan (demokrasi) itu.

Menurut Mohammad Hatta asas kerakyatan (demokrasi) menciptakan pemerintah yang adil yang dilakukan dengan rasa tanggung jawab, agar tersusun sebaik-baiknya Demokrasi Indonesia yang mencakup demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.


Pidana Mati dan Keadilan Sosial

Keadilan Sosial adalah keadilan yang merata dalam segala lapangan kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan yang dapat dirasakan oleh rakyat.

Setiap langkah atau upaya mempertahankan sendi-sendi kehidupan masyarakat memang harus dilakukan dalam konteks yang kondisional dan proporsional. Dalam kaitan ini kehadiran pidana mati untuk menjaga keutuhan sendi-sendi kehidupan manusia dirasa juga sangat relevan. Berpijak dari pemahaman tentang keadilan sosial tersebut diatas, tidak ada pertentangan antara pidana mati dengan nilai keadilan sosial, karena prinsip utama pidana mati adalah menjamin keadilan sosial yang berdasarkan persamaan hak.

Bertumpu pada uraian diatas terlihat bahwa eksistensi dan filosofi pemberlakuan pidana mati terkait erat dan tidak dapat dipisah lepaskan dengan nilai-nilai Pancasial itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan, walaupun pidana mati dirasa sebagai sanksi pidana yang keras dan kejam, tetap dipertahankan dalam hukum positif.


Ringkasan BAB I buku : Pujiyono, S.H., M.Hum.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates