WELCOME TO MY BLOG

27 Agustus 2009

Arti Hukum Pidana

Istilah hukum pidana merupakan istilah yang mempunyai lebih dari satu pengertian, maka harus dipahami, bahwa berbagai batasan atau pengertian yang ada tentang hukum pidana sebenarnya hanya menggambarkan isi dari bagian hukum pidana, tidak menggambarkan isi dari hukum pidana seutuhnya.

Berikut beberapa para ahli (pakar) hukum terkenal memberikan suatu pengertian mengenai Hukum Pidana (Strafrecht).


1. Soedarto

Hukum Pidana sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.

Dengan batasan seperti itu, hukum pidana berpangkan dari dua hal pokok, yaitu :

a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Hal ini dirinci menjadi dua, yaitu perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan tersebut.

b. Pidana

Yang dimaksud disini adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.

Batasan atau pengertian hukum pidana yang diberikan Soedarto ini hanya melihat dari satu aspek saja dari hukum pidana, yaitu aspek materiil.


2. Lemaire

Hukum Pidana adalah norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat khusus.

Batasan atau pengertian hukum pidana yang diberikan Lemaire ini hanya berisi mengenai isinya hukum pidana (substantive criminal law). Jadi hanya menggambarkan batasan dari bagian hukum pidana, yaitu hukum pidana materiil.


3. Moeljatno

Hukum Pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

a. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c. menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Rumusan hukum pidana dalam butir a, membicarakan tentang tindak pidana (criminal act) yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang, sementara dalam butir b, membicarakan tentang pertanggung-jawaban pidana (criminal responsibility), yaitu membicarakan tentang kapan dan dalam hal-hal seperti apa kepada mereka yang telah melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana.

Sedangkan dalam butir c, tergambar adanya hukum acara pidana, yaitu cara atau prosedural untuk menjatuhkan pidana terhadap mereka yang melakukan tindak pidana.

Sehingga dalam pandangan yang diberikan Prof. Moeljatno, pengertian hukum pidana tidak saja meliputi hukum pidana materiil (KUHP) tetapi juga meliputi hukum pidana formil (KUHAP).


4. Pompe

Hukum Pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian.


5. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H

Hukum Pidana adalah Peraturan-Hukum mengenai Pidana.

Kata ”Pidana” berarti hal yang di-”pidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.


6. Satochid Kartanegara

Hukum Pidana adalah sejumlah peraturan-peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, larangan atau keharusan mana disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan, menjalankan pidana dan melaksanakan pidana.


7. Simons

Menurut Simons, Hukum Pidana adalah :

a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan nestapa, yaitu suatu ”pidana” apabila tidak ditaati.

b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana.

c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana

Batasan ini mengandung makna, bahwa hukum pidana meliputi hukum pidana materiil yang berisi tentang larangan atau perintah dan mengancam dijatuhkannya pidana apabila dilanggar (criminal act) serta syarat-syarat untuk penjatuhan pidana (criminal resposibility) disamping juga meliputi hukum pidana formil yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.


8. Van Hammel

Hukum Pidana merupakan keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.


Banyaknya batasan atau pengertian tentang hukum pidana yang diberikan oleh para sarjana menggambarkan bahwa betapa luas sebenarnya ruang lingkup hukum pidana itu.


Jadi, hukum pidana itu terbagi menjadi dua yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Pada hakekatnya isi dari hukum pidana materiil terdapat dua hal, yaitu tindak pidana (criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana (criminal responsibility).


Sumber : Buku – buku Hukum Pidana dari berbagai Pengarang

Malaysia, apa mau mu ?

Posting ini saya buat langsung seketika,ketika mendengar berita di salah satu media elektronik yang mengabarkan bahwa Negara Malaysia kembali membuat ulah dengan seenaknya mengubah syair Lagu Kebangsaan Indonesia yaitu "Indonesia Raya" dengan mengganti judul lagu kebangsaan tersebut menjadi "IndoneSIAL".
Seketika itu juga (pada saat mendengar berita tersebut) saya langsung sangat amat terkejut.

Media massa tersebut memberitakan bahwa syair lagu Indonesia Raya yang dirubah itu ditulis di dalam suatu "forum bebas" di media internet, dimana semua orang dapat bergabung (join) ke dalam forum tersebut. Kesulitan yang kemudian dihadapi adalah sulitnya aparat penegak hukum (Polisi) untuk melacak sumber tulisan di forum tersebut, karena setiap orang dapat saja mengisi "identitas palsu" pada saat mendaftar (Sign up) forum bebas tersebut.
Ada pernyataan menarik bahwa kemungkinan bisa saja orang (pelaku) yang mengubah syair Indonesia Raya di forum tersebut adalah Warga Negara Malaysia. Memang tidak salah pernyataan tersebut, jika kita mengingat kembali apa yang telah dilakukan oleh Malaysia kepada Indonesia beberapa waktu yang lalu.

Malaysia (pemerintah-nya) pernah mengklaim beberapa hasil budaya Indonesia, setelah itu Malaysia kembali membuat ulah dengan mengklaim Tari Pendet yang berasal dari Bali beberapa hari yang lalu, meskipun dalam klaim ini Pemerintah Malaysia mengatakan bahwa pihak swasta lah yang melakukannya (bukan dari Negara Malaysia itu sendiri). Dan kemudian lagu Indonesia Raya yang dirubah syairnya yang diduga pelakunya adalah Warga Negara Malaysia.

Kabar yang mengejutkan ini SUDAH TIDAK DAPAT DITERIMA LAGI !!! Alasannya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut BUKAN LAGI PLESETAN (yang hanya sekedar guyonan belaka) akan tetapi JELAS MERUPAKAN TINDAK PIDANA PENGHINAAN (PELECEHAN) !!!

Terhadap peristiwa ini, saya memiliki beberapa pendapat, diantaranya :

1. Wahai Pemerintah Indonesia, bagaimana sikapmu melihat peristiwa ini ? Apakah kau tetap akan bertindak pasif (hanya memberikan surat berupa teguran)?

2. Buat Malaysia, kau TIDAK DAPAT DIKATAKAN LAGI SEBAGAI TETANGGA KAMI !!
Apa Mau mu sebenarnya ? Mau "kami", AYO KITA PERANG !!!! GANYANG MALAYSIA !!!

Eksistensi Pidana Mati dan Nilai-nilai Pancasila

Eksekusi mati terhadap para teroris beberapa tahun yang lalu, meneguhkan kembali bahwa Indonesia adalah negara yang bersifat retensionis (mempertahankan) pidana mati baik secara de jure maupun de facto. Seiring dengan eksekusi tersebut, telah menimbulkan pro kontra di masyarakat. Keadaan ini akan menjadi sangat relevan untuk dikaji manakala kita hubungkan dengan keberadaan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Pandangan terhadap pidana mati di Indonesia secara kasar dapat dibagi dalam dua kelompok pandangan, yaitu pandangan yang pro (setuju) dan kontra (tidak setuju) terhadap pelaksanaan pidana mati, keduanya mempunyai pijakan argumentasi yang sama yaitu bersumber pada Pancasila.


Eksistensi pidana mati sebagai sanksi pidana di dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ditinjau dari sejarah hukum merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif dan bersifat politis, yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Kolonial Belanda terhadap negara jajahannya. Sebab sejak tahun 1870 didalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda (KUHP Belanda), sanksi pidana mati sudah dihapuskan. Akan tetapi hal serupa tidak dilakukan terhadap Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI) / KUHP yang diberlakukan untuk Indonesia.


Pemberlakuan pidana mati secara umum terkait dengan salah satu permasalahan pokoknya, yaitu Landasan Filosofis.

Pada abad ke-18 Cesare Beccaria sudah mengadakan penolakan terhadap pidana mati, selain Beccaria masih banyak sarjana lain yang menolak pidana mati, seperti Ferri, Von Hentig, Van Bemmelen, Ernest Bowen Rowlands, dan lain-lain. Dalam hal ini yang ingin dicari adalah landasan filosofis berlakunya pidana mati tersebut dalam perspektif nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai Rechtsbeginsel (asas hukum) adalah merupakan sumber hukum tertinggi (sumber dari segala sumber hukum) bagi tertib hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa masalah hukum di Indonesia harus diselesaikan dan bersumber dari nilai-nilai Pancasila, tak terkecuali aturan hukum tentang sanksi pidana mati.


Pidana Mati dan Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

Untuk menemukan landasan filosofis keberlakuan pidana mati dalam konteks nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, terlebih dahulu hendaknya dipahami pengertian tentang Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam uraian yang diberikan oleh Mohammad Hatta tersimpul pengertian bahwa ”Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai cita-cita hukum Indonesia”, dengan demikian dalam setiap pengaturan hukum di Indonesia, tidak terkecuali masalah pidana mati juga harus bersumber pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam ajaran Islam dikenal adanya qishash, dimana menurut hukum Islam pidana mati adalah suatu keharusan bagi mereka yang telah menghilangkan nyawa orang lain. Hukum qishash secara tegas terlihat dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 178 : yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu menuntut balas (kisas) sebab membunuh orang, merdeka dengan merdeka, sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan...”

Hukuman mati juga dibenarkan oleh ajaran agama Kristen. Para ulama Kristen setuju penerapan pidana mati karena merujuk pada pandangan Paulus, bahwa negara adalah wakil Tuhan dalam menjalankan kekuasaan duniawi, diberikan pedang yang dipergunakan untuk menjamin kelangsungan hidup negara.


Pidana Mati dan Nilai Kemanusiaan

Menurut pandangan Drijarkoro, perikemanusiaan dibagi dalam dua perumusan yaitu :

1. Rumusan Negatif, yaitu apa yang tidak diinginkan untuk dirimu sendiri, jangan itu kau lakukan terhadap sesamamu manusia.

2. Rumusan Positif, yaitu cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri, perlakukanlah kepadanya apa yang kau inginkan untuk diri sendiri.

Secara lebih tajam Rachmad Djatmiko berpendapat, pidana mati tidak bertentangan dengan perikemanusiaan, karena dasar keadilan pidana mati adalah perikemanusiaan yang menjaga pertumpahan darah secara sewenang-wenang. Mencermati pandangan tersebut, pidana mati merupakan alat yang radikal untuk mencegah tindakan-tindakan di luar batas perikemanusiaan demi tercapainya masyarakat adil makmur.


Pidana Mati dan Nilai Kebangsaan

Untuk mencari adanya titik singgung atau hubungan antara pidana mati dengan nilai-nilai kebangsaan, terlebih dahulu tentunya harus kita kemukakan arti atau makna dari kebangsaan (persatuan Indonesia) itu.

Mohammad Hatta terhadap pengertian persatuan kebangsaan Indonesia berpendapat bahwa Tanah Air Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi. Persatuan Indonesia mencerminkan susunan negara nasional yang bercorak Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam berbagai suku bangsa yang batasnya ditentukan dalam Proklamasi Indonesia. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa kesatuan dan kebangsaan dalam konteks kesatuan wilayah, kesatuan dalam kebhinekaan dan kesatuan kehidupan bermasyarakat adalah merupakan hal yang mutlak harus ada dan harus dipertahankan dalam bernegara.

Jika kita hubungkan antara nilai kebangsaan tersebut dengan eksistensi pidana mati, dapat ditarik satu pemikiran bahwa pidana mati adalah merupakan sarana atau alat untuk mencegah segala tindakan yang berupaya untuk memecah kesatuan kebangsaan.


Pidana Mati dan Nilai Kerakyatan

Untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan apakah pidana mati bertentangan atau tidak dengan nilai kerakyatan (demokrasi), tentunya terlebih dahulu harus dipahami apa arti kerakyatan (demokrasi) itu.

Menurut Mohammad Hatta asas kerakyatan (demokrasi) menciptakan pemerintah yang adil yang dilakukan dengan rasa tanggung jawab, agar tersusun sebaik-baiknya Demokrasi Indonesia yang mencakup demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.


Pidana Mati dan Keadilan Sosial

Keadilan Sosial adalah keadilan yang merata dalam segala lapangan kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan yang dapat dirasakan oleh rakyat.

Setiap langkah atau upaya mempertahankan sendi-sendi kehidupan masyarakat memang harus dilakukan dalam konteks yang kondisional dan proporsional. Dalam kaitan ini kehadiran pidana mati untuk menjaga keutuhan sendi-sendi kehidupan manusia dirasa juga sangat relevan. Berpijak dari pemahaman tentang keadilan sosial tersebut diatas, tidak ada pertentangan antara pidana mati dengan nilai keadilan sosial, karena prinsip utama pidana mati adalah menjamin keadilan sosial yang berdasarkan persamaan hak.

Bertumpu pada uraian diatas terlihat bahwa eksistensi dan filosofi pemberlakuan pidana mati terkait erat dan tidak dapat dipisah lepaskan dengan nilai-nilai Pancasial itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan, walaupun pidana mati dirasa sebagai sanksi pidana yang keras dan kejam, tetap dipertahankan dalam hukum positif.


Ringkasan BAB I buku : Pujiyono, S.H., M.Hum.

23 Agustus 2009

Lagi - Lagi Malaysia !



created by : Nico Sigiro

Sungguh sangat ironis sekali yang sedang dialami oleh Negara Republik Indonesia akhir - akhir ini. Negara tetangganya, yaitu Malaysia beberapa hari yang lalu kembali membuat "ulah" dengan mengklaim bahwa tari pendet yang berasal dari Bali, Denpasar merupakan kebudayaan yang berasal dari Negara Malaysia.
Jika kita mengingat kembali kebelakang, "ulah" seperti ini bukan baru pertama kali dilakukan oleh Malaysia. Berikut beberapa kebudayaan Indonesia yang pernah diklaim oleh Malaysia sebagai miliknya :
Tahun 2007
- Malaysia menggunakan lagu Rasa Sayange dalam kampanye wisata Malaysia, yakni "Truly Asia".
- Malaysia mengklaim tari barongan yang mirip dengan kesenian Reog sebagai kesenian asli negara itu.

Tahun 2008
- Malaysia mengklaim batik dan beberapa motif nya sebagai warisan budaya mereka.
- Malaysia mengklaim angklung, yang mereka sebut Bamboo Malay sebagai alat musik tradisional mereka.

Tahun 2009
- Malaysia mengklaim Tenun Ikat Sambas dari Kalimantan Barat sebagai produk negara tersebut
- Tari Pendet khas Bali digunakan oleh Malaysia dalam iklan Visit Malaysia Year

Setelah adanya masalah pengklaiman ini kemudian timbul sejumlah pertanyaan di pikiran kita semua, salah satunya adalah Siapa sebenarnya pihak yang salah sehingga masalah ini terjadi terulang kembali ?

Pada awalnya, Tari Pendet merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura. Tari yang tercipta pada awal tahun 70-an ini, menggambarkan penyambutan atas turunnya Dewa - Dewi ke alam marcapada yang merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Taburan bunga yang ditebarkan di hadapan para tamu sebagai ungkapan selamat datang.

Terlepas dari sejarah perkembangan tari pendet ini, selanjutnya saya akan lebih membahas ke dalam bidang Hukum atas masalah yang sedang dihadapi Indonesia ini.
Suatu hasil nilai (cipta, rasa dan karsa) sebenarnya telah terdapat "payung hukum" di Indonesia, yakni tercantum dalam Undang - undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Berdasarkan UU ini yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah "merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) butir e UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta, suatu tarian (Tari Pendet) merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh UU ini.

Falsafah yang mendasari adanya pemberian royalti terhadap Hak Cipta sebagai bentuk penghargaan bermula dari Teori Hukum Alam yang didengungkan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris terkemuka abad XVIII. Locke mengatakan bahwa hukum alam telah memberikan hak eksklusif atas suatu karya cipta, memberi kepada individu hak untuk mengawasi karya-karyanya dan mendapat kompensasi yang adil atas kontribusinya kepada masyarakat.
Perlindungan hukum hak cipta di Indonesia saat ini dapat dikatakan cukup memprihatinkan, walaupun telah dituangkan dalam bentuk Undang-undang (UU).
Penegakan hukum UU No.19/2002 tentang Hak Cipta masih belum dapat dikatakan berjalan dengan baik meskipun dari segi isi sudah diusahakan agar ketentuan-ketentuannya lebih sesuai pedoman atau standar yang digariskan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Right atau Perjanjian TRIPs tahun 1994 dengan mengakomodasi perkembangan yang terjadi.

Pemerintah (Negara) sebagai pelindung rakyatnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 haruslah diartikan tidak hanya sebatas perlindungan dalam bentuk "fisik" melainkan harus pula melindungi "sesuatu" yang telah dihasilkan (diberikan) rakyat kepada Negaranya, dalam hal ini salah satunya adalah Hak Cipta. Seringkali kita mendengar istilah "bergerak jika ada masalah dulu". Istilah itu lah yang mungkin masih dipegang teguh oleh Pemerintah kita saat ini. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri dengan kenyataan yang ada, seperti beberapa masalah yang berkaitan dengan direbutnya 'harkat dan martabat' bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Ibaratnya setelah ada suatu masalah barulah terjadi 'kebakaran jenggot', pemerintah bertindak cepat-cepat ketika Negara lain 'menyerang' nya. Dari beberapa sumber media massa, disebutkan memang benar Pemerintah kurang memperhatikan salah satu aspek kehidupan masyarakat,yakni budaya karena pemerintah cenderung lebih memberikan perhatian kepada aspek kehidupan di bidang ekonomi dan politik.
Negara Malaysia memang 'kritis budaya' sehingga pemerintah di Negara tersebut melihat dan memanfaatkan kondisi di Negara tetangganya (Indonesia) untuk dijadikan keuntungan bagi Malaysia.

Rakyat sebagai subyek lainnya dalam suatu Negara juga seharusnya turut menjaga dan melestarikan kebudayaannya di negeri sendiri. Hanya segelintir kalangan rakyat Indonesia yang sangat memperhatikan hal ini (budaya), yakni seperti seniman, budayawan, dan musisi. Sisanya dapatlah saya katakan masih belum memiliki perhatian terhadap kebudayaan di negerinya, kalangan masyarakat ini sudah melupakan (mungkin tidak mengetahui sama sekali) akan kebudayaan yang ada disekitar mereka dan cenderung lebih menyukai budaya barat yang telah ter-difusi di lingkungan mereka.

Akhir kata, sekali lagi saya sangat prihatin akan masalah Tari Pendet ini. Pemerintah seharusnya lebih menjaga kebudayaan yang ada di Negara-nya dan haruslah bertindak preventif sehingga dikemudian harinya masalah ini tidak akan kembali terjadi lagi. Masyarakat Indonesia sebagai pengawas intensif terhadap kebudayaan haruslah merawat dan melestarikan budaya di negeri asalnya. Bukan suatu hal yang salah untuk menyukai "budaya luar" akan tetapi alangkah bagiknya apabila 'menyaring' terlebih dahulu budaya luar yang masuk tersebut dan tidak melupakan budaya asalnya.

Terhadap Malaysia, kami sebagai putra-putri bangsa Indonesia TIDAK TAKUT dan PANTANG MENYERAH !!! Meskipun kau (Malaysia) sering mengklaim budaya kami, hal ini justru membuat kami lebih berkarya di Negeri kami sendiri dan biarkan lah masyarakat Internasional yang akan menentukan Negara mana sebenarnya yang TIDAK MEMILIKI JATI DIRI-nya (MALAYSIA) !!!

19 Agustus 2009

Soal Kasus Hukum Pidana

Primia (33 tahun) seorang karyawati sebuah bank swasta di Bandung yang menikah dengan Erfan (35 tahun) karyawan swasta pada tahun 1998, dikaruniai 2 orang anak yaitu Pradita (10 tahun) dan Azahra (6 tahun). Semula perkawinan mereka terlihat begitu harmonis, sampai pada tahun 2007 Erfan terkena PHK. Kondisi ini juga mempengaruhi perangai Erfan menjadi orang yang sangat pemarah sekaligus pemboros, berkali - kali ia berusaha meminta uang pada istrinya dengan berbagai cara untuk keperluan, termasuk untuk merenovasi rumahnya walaupun rumahnya tak pernah direnovasi. Akibat keinginan suaminya tersebut, Primia tidak terasa sudah memakai uang tempat ia bekerja hampir kurang lebih Rp. 250.000.000,00. Dengan keadaan ini, pikiran Primia merasa ketakutan kalau akan segera dilakukan pemeriksaan terhadap dirinya.

Pada sekitar bulan Mei 2008, ketika Primia baru sampai di rumahnya, ia sangat kaget karena mendapatkan Pradita dipukuli oleh Erfan dan terlihat sudah tersungkur dengan telinga bagian kanan mengeluarkan darah, dengan alasan Erfan mendapat informasi bahwa Pradita merokok disekolahnya. Kemudian Primia berusaha menghentikan perbuatan suaminya, dan akhirnya membawa pergi kedua anaknya ke rumah Kel. Martoyo (orangtua Primia).

Kurang lebih sudah 3 bulan Primia dan kedua anaknya tinggal bersama dengan Kel. Martoyo, namun Erfan sama sekali belum pernah melihat istri dan anak - anaknya. Sementara istri dan kedua anaknya tidak ada di rumah, Erfan mengambil sertifikat rumahnya dan meminta bantuan kepada dua orang temannya yaitu Aries dan Yuno (karyawan bank swasta lainnya) untuk memperoleh fasilitas kredit, dan berdasarkan Akta Notaris Roelanto, kemudian Erfan bisa mencairkan Kredit sebesar Rp. 125.000.000, uangnya sebagian diserahkan kepada dua temannya karena membantu proses kredit dan sebagian kemudian dia pergunakan sendiri.

Perbuatan Erfan tidak berhenti sampai disitu, karena ternyata pada suatu hari datang ke rumah Erfan seorang wanita bernama Mona (kasir disebuah kafe) yang belakangan diketahui sebagai teman dekat Erfan, meminta pertanggungjawaban Erfan karena dirinya sedang hamil 2 bulan. Kemudian atas segala bujuk rayu dan ancaman dari Erfan, Mona berusaha menggugurkan kandungannya dan dengan bantuan Bidan Yeyet, akhirnya kandungannya dapat digugurkan dan Mona dapat diselamatkan.

Pada sekitar awal bulan September 2008, Primia datang kerumahnya dengan maksud untuk mencari surat - surat penting yaitu akta nikah karena dia akan mengurus perceraian dengan suaminya termasuk sertifikat rumah, namun dia kaget karena surat - surat itu tidak ia dapatkan, kemudian dia berusaha mencari - cari suaminya dari beberapa sumber informasi dari sahabat - sahabat suaminya, yang sangat menyakitkan ternyata dia juga mendapat informasi bahwa suaminya sudah tinggal bersama seorang wanita. Dengan perasaan yang sangat marah dan sakit haitu yang begitu dalam, Primia pada hari itu kembali kerumah orangtuanya, karena tidak menemukan dimana suaminya berada.

Pada hari Sabtu kurang lebih jam 5 sore di bulan September, Primia setelah mengikuti workshop di Sari Ater Subang diantar oleh sopir perusahaan (Entis) baru keluar dari tempat parkir akan pulang ke Bandung, kemudian dia sangat terkejut karena melihat seorang laki - laki dan wanita di salah satu mobil yang akan masuk kedalam ternyata adalah suaminya, kemudian mobil suaminya dihalangi oleh mobil Entis, dan Entis menyuruh Erfan keluar, baru saja Erfan keluar dari mobilnya tiba - tiba sebuah batu dengan ukuran yang cukup besar mengenai pelipis Erfan dan keluar darah sangat banyak, ternyata dilemparkan oleh Primia dengan penuh kekesalan, dan Entis juga melakukan pemukulan yang cukup keras pada Erfan sehingga ia jatuh pingsan, sementara wanita tadi yang ternyata Mona meminta tolong pada keamanan Hotel, Entis dan Primia berusaha kabur, karena kecepatan yang sangat tinggi ternyata, di Jl. Setiabudhi, Entis menabrak seorang penyebrang jalan, korban diketahui bernama Yunita (12 tahun). Kemudian Entis dan Primia berusaha memberikan pertolongan pada korban dan dibawa ke rumah sakit Dr. Salamun, korban sempat dirawat selama 2 malam, namun karena luka dibagian kepala cukup parah akhirnya korban meninggal dunia.


Kasus Posisi ini merupakan Soal UAS mata kuliah Tindak Pidana Khusus yang telah saya hadapi.....
Dari Kasus Posisi tersebut, terdapat 2 pertanyaan di dalam Soal UAS itu, yakni :
1. Perhatikan kasus diatas, analisis secara cermat kemudian sebutkan siapa saja yang berpeluang sebagai pelaku tindak pidana
2. Jelaskan dan uraikan secara lengkap disertai keterangan fakta dan unsur - unsur yuridisnya, beberapa pasal yang dapat diancamkan terhadap pelaku tindak pidana pada kasus di atas ?

Nah, buat teman - teman yang mungkin ingin lebih mengasah kemampuan analisisnya terutama di bidang Hukum Pidana langsung saja mencoba menjawab soal ini yah.....di tunggu jawaban (pendapat) dari kawand - kawang....
Selamat Mencoba.....hehehe

Template by:
Free Blog Templates